Tuesday, 7 February 2017

Mengamalkan Wirid Tanpa Guru

Assalamu’alaikum Wr Wb
Habib Luthfi yang kami hormati, saya senantiasa banyak mengamalkan wirid ; anatara lain Asmaul Husna, selawat Nariyah, selawat Munfarijiyah, selawat Thibbiyah, ayat Kursi dan sebagainya.
Terus terang Habib, kami dapatkan wirid ini semua dari buku, bukan dari guru. Saya tertarik karena khasiat atau manfaat wirid-wirid itu yang begitu besar.
Pertanyaan kami, mungkinkah amal saya diterima Allah padahal ilmu tersebut tidak kami dapatkan melalui dari guru. Apakah karena tanpa guru itu sehingga agaknya tujuan kami menjadi tersendat, tak seperti manfaat yang dituliskan dalam buku tersebut.
Tolong Habib, apakah ada jalan keluarnya dalam mengamalkan wirid-wirid itu tanpa ijazah dan guru. Terimakasih.
Wassalum’alaikum Wr Wb.
Wa’alaikumsalam Wr Wb
Sebelumnya perlu diketahui, kegiatan itu tidak bisa dikategorikan tarekat. Itu memiliki arti sebagai nilai tambah yang menjadi kewajiban, diluar shalat lima waktu.
Sudah selayaknya pendekatan kepada Allah tidak terbatas hanya pada shalat lima waktu. Karena ia meiliki kemampuan untuk mendorong kekhusyu’an, kebutuhan dan keperluan kita kepada Allah Ta’ala. Masak sih kita hanya mau mendapatkan lima waktu?
Selain itu, ia berarti melatih pendekatan agar awrad, wirid yang kita lakukan itu bisa memperkuat kedudukan kita dalam shalat. Ini penting, karena shalat adalah kegiatan pertama yang ditanyakan setelah kiamat nanti.
Selain akhlak dan adab, keutamaan shalat dinilai melalui kekhusyukan, tanpa dilatih dengan membaca awrad atau wiridan-wiridan dan sebagainya itu akan sulit dicapai.
Dengan bacaan dan awrad-awrad itu kita akan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah selain hanya pada salat lima waktu.
Menjawab pertanyaan anda, dalam satu sisi, niat ibadah itu, tidak ada yang tercela. Semua baik, tapi afdhal-nya kita harus berjalan dalam aturan yang baik berdasarkan pelajaran yang diterima. Karena sesuatu yang tidak tepat dari yang sebenarnya, sama artinya membeli obat tanpa resep. Tahu khasiat obat-obatan tapi tidak mengetahui seberapa besar dosisnya.
Buku-buku itu seperti obat-obatan. Kalau meramu sendiri, sesuai dengan buku, itu artinya sekadar teori. Buku tidak pernah menceritakan orang-orang yang pernah meminum obat itu. Karena itu, perlulah kiranya seorang guru.
Apalagi makna dalam doa yang keluar dari hadist atau perintah Allah, tidak dapat ditafsirkan semudah itu. Untuk dapat dimaknai, harus sesuai azbabaun nuzul (sebab-sebab turunnya Al Quran) dan asbabul wurud (sebab-sebanya dikeluarkan hadist). Jadi mana mungkin akan menempatkan dhamir (keterangan) atau khitab (landasan). Atau minimal secara jamaknya akan tepat bila memiliki guru, terkecuali shalawat Nabi. Maka praktis, yang lainnya itu sulit. Jadi sebaiknya semua itu menggunakan guru.
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)
Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah

No comments: